Ketika
memulai tulisan ini saya teringat kejadian pada tahun 2010 lalu.Media
cetak regional maupun nasional bersama-sama memberitakan seputar Ujian
Nasional tingkat SMA atau sederajat. Peristiwa yang setiap tahun
meramaikan tajuk berita media cetak maupun tidak pada selang waktu bulan
April. Namun pemberitaan Ujian Nasional tingkat SMA atau sederajat
tahun ajaran 2010 terlihat berbeda. Pembocoran soal jawaban, tingkat
kecurangan siswa, sidak dari kementrian pendidikan dan lain sebagainya
itu hal yang “lumrah” diberitakan setiap tahunnya. Berbeda untuk Ujian
Nasional tingkat SMA atau sederajat tahun 2010 khususnya diwilayah
yogyakarta. ” Jumlah
ketidaklulusan siswa SMA di DIY hingga 23,70 persen, tercatat sebagai
angka tertinggi sepanjang sejarah. Pihak Disdikpora berencana membentuk
tim untuk mencari penyebab ketidaklulusan”, kutipan dari salah satu pemberitaan media online.Yogyakarta memiliki tingkat kelulusan terendah se-pulau jawa pada saat itu.
” Mereka gagal dalam ujian nasional karena tidak lulus di mata pelajaran sosiologi dan Bahasa Indonesia”, pengakuan
dari salah satu kepala sekolah. Kita tidak perlu membahas tingkat
kelulusan SMA diyogyakarta karena pastinya sudah dibahas dan ditindak
lanjuti dinas pendidikan. Salah satu kutipan berita terlihat beberapa
kata yang berbeda dengan kata lainnya. Hal itulah yang perlu kita garis
tebal, begitu prihatin ketika kita mendengar pemberitaan seperti itu.
Diantara siswa-siswa tersebut, mereka tidak lulus pada mata pelajaran
BAHASA INDONESIA, sejauh itukah?.
Sungguh
ironis kejadian tersebut, bahasa indonesia yang merupakan bahasa resmi
bangsa ini menjadi sebuah kendala. Jangan menyalahkan siswa-siswa kita,
mereka hanyalah korban. Korban dari dampak negatif arus globalisasi ,
para pendahulu dan sistem pendidikan. Ketiga hal tersebut yang mendasari
terciptalah kondisi yang kita alami sekarang. Masih banyak generasi
muda yang lupa bagaimana menggunakan bahasa indonesia yang baik dan
benar. Cenderung mereka lebih nyaman dan menyukai berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa daerah maupun bahasa “gaul”. Bahkan masih banyak
diantara kita yang belum sepenuhnya paham istilah istilah pada kamus
besar bahasa indonesia, Minim sekali pelajar kita membuka kamus besar
bahasa indonesia dan pastinya mereka lebih sering membuka kamus bahasa
inggris.Sudah punyakah anda kamus besar bahasa indonesia?Terlalu mudah
ataukah kita terlalu meremehkan bahasa kita sendiri?
Pesatnya
perkembangan arus globalisasi yang kita rasakan ini, benar benar
memberikan dampak besar dalam kehidupan bermasyarakat termasuk bahasa.
Teknologi yang semakin maju mempermudah akses masuknya hal tersebut,
termasuk pula interaksi kultur budaya. Dampak terhadap Kultur budaya
berbahasalah yang mendapat urutan pertama efek globalisasi. Dalam
mengakses informasi global kita harus berkomunikasi, baik verbal atau
non verbal. Diawali berkomunikasilah secara tidak langsung kita merekam
informasi kultur bahasa dari lawan interaksi kita. Semakin sering kita
berinteraksi dengan dunia luar semakin terbiasa pula kita merekam
informasi tersebut. Sehingga secara tidak kita sadari hal tersebur akan
terakumulasi menjadi kebiasaan sehari hari kita.
Perilaku
dari para pendahulu atau yang biasa kita sebut orang tua, menjadi
faktor terpenting. Ada peribahasa “buah jatuh tidak akan jauh dari
pohonnya” yang bermakna perilaku seorang anak tidak akan berbeda jauh
dengan perilaku orang tuanya, termasuk juga perilaku dalam
berkomunikasi. Mengapa begitu banyak generasi muda kurang menyukai atau
terbiasa untuk berkomunikasi menggunakan bahasa indonesia yang baik dan
benar? Kaitannya mereka lebih menyukai menggunakan bahasa “gaul” atau
daerah. Penggunaan bahasa daerah memang memiliki nilai positif, yaitu
dalam mempertahankan nilai dari budaya kita. Keberagaman suku yang ada
di negri ini maka beragam pula bahasa suku tersebut. Orang tua yang
memiliki latar berlakang adat yang kental cenderung untuk menggunakan
bahasa suku mereka dalam berkomunikasi sehari-hari sehingga secara
perlahan kedudukan bahasa indonesia sebagai bahasa resmi akan semakin
tersingkir. Semakin sering orang tua menggunakan bahasa tersebut dirumah
dan hal ini akan semakin mudah terekam pada tiap generasi muda sehingga
mau tidak mau akibat kebiasaan mereka akan meniru perilaku dari orang
tua mereka. Dan kita tahu, keluarga merupakan lingkungan pertama bagi
setiap anak yang lahir. Lingkungan inilah yang menjadi faktor penentu
karakter anak tersebut. Bahkan dipedalaman sunda, masih terdapat
masyarakat yang tidak mengerti bahasa indonesia apalagi dipedalaman
irian, kalimantan dan pulau-pulau lainnya. Masyarakat kita masih belum
paham arti pentingnya bahasa indonesia sebagai identitas utama
kebangsaan kita.
Pemerintah
juga mengupayakan dalam mencerdaskan pelajarnya. Salah satunya
pencerdasan berbahasa indonesia, sejak kita duduk dibangku sekolah dasar
hingga pada jenjang perguruan tinggi akan selalu “dijejali” mata
pelajaran bahasa indonesia. Berharap pelajarnya mampu memahami serta
mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Secara pengalaman pribadi
belajar bahasa indonesia saat itu sangat membosankan, membuat ngantuk
dan suntuk. Terdapat keganjilan dalam sistem pendidikan kita, metode
pembelajaran yang dilakukan dinilai belum sesuai untuk diterapkan.
Walaupun sudah membuat banyak kurikulum yang diterapkan, mulai dari KBM,
KTSP dan masih banyak lagi terbukti belum efektif untuk mencapai tujuan
mencerdaskan pelajarnya. Dan hal tersebut berefek pada pemahaman
pelajar mengenai bahasa indonesia khususnya.
Meskipun
hanya sedikit diantara ratusan ribu total populasi penduduk NKRI yang
ingat dan tahu mengenai bulan bahasa yang jatuh pada bulan oktober ini,
kita masih bisa membenahi kondisi ini. Belum terlambat, akan
tetapi kita harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyadarkan
pentingnya menggunakan bahasa identitas kita. Diawali dengan hal yang
kecil yaitu keluarga, para orang tua diberikan pembinaan dan sosialisasi
akan pentingnya hal tersebut. Memberikan contoh berkomunikasi
menggunakan bahasa indonesia yang baik
dan benar. Akan tetapi penggunaan itu tidak bermaksud untuk
menghilangkan unsur bahasa suku masing-masing. Agar tidak menghilangkan
salah satu unsur tersebut, orang tua harus bijak dalam penerapannya.
Harus seimbang penggunaan keduanya, memang hal ini cukup sulit dilakukan
apalagi hal ini menyangkut adat istiadat. Sehingga diperlukan
sosialisasi yang merata diseluruh daerah indonesia akan maksud dan
tujuan misi kali ini. Hal inilah yang menjadi bekal utama tiap generasi
muda dalam menghadapi pesatnya arus globalisasi, dan mampu mampu
mengakses dunia luar tanpa terpengaruhi budaya budaya yang tidak sejalan
dengan budaya kita. Secara konseptual, sistem pendidikan kita sudah
cukup bagus. Hanya saja yang menjadi problematika adalah media transfer
ilmu. Benar sekali, Tenaga pendidiklah yang menjadi kendala utama.
Metode pembelajaran yang digunakan tenaga pendidik tidak sesuai dengan
kondisi pelajar saat itu. Metode tersebut cenderung membosankan, tidak
menarik dan monoton. Akibatnya pelajar menjadi tidak tertarik dengan
mata pelajaran tersebut dan ini sering dialami pada mata pelajaran
bahasa indonesia. Sudah tidak merasa tertarik dari awal akibatnya
minimnya bimbingan dari lingkungan keluarga dan menjadi benar benar
tidak tertarik dipicu sistem pembelajaran yang kurang sesuai ini.
Kita
harus sadar dan segera bertindak, mari kita benahi dan kita perkenalkan
budaya bahasa kita yang membanggakan ini. Ibaratkan pakaian, kita
dimana saja harus selalu memakai pakaian. Begitu juga dengan bahasa
indonesia, sebagai identitas kebanggaan kalau kita adalah bangsa
indonesia.